Tonight, I Lost My Light

Standard

Bukan cinta namanya, jika tiada air mata.
Air mata bahagia saat tertawa bersama.
Air mata lara saat terluka berdua.

Dipertemukan oleh Tuhan, dipisahkan oleh keadaan.
Meninggalkan itu menyakitkan, ditinggalkan itu menyengsarakan.

Bertemu dan bersatu, berpisah dan berserah.

CiCBr54UoAE183e-2

Sang Petapa Angsana

Standard

[PROLOG]

enhanced-buzz-28668-1361397775-3

Angsana, sebuah desa di kaki gunung Sindhara. Penduduknya tak sampai lima puluh jiwa. Kebanyakan para lansia yang ditinggalkan anak-anaknya untuk mengadu nasib di kota.

Ada seorang petapa, mengasingkan diri di Angsana. Bertempat tinggal tepat di pinggir hutan belantara, berjarak tiga puluh hasta dari perumahan desa.

Sang Petapa dikenal oleh penduduk desa sebagai seorang yang bijaksana. Menurut kabar berita, banyak peristiwa yang singgah di hidupnya. Pengalaman telah menempanya, menjadi sosok yang luar biasa.

Sebagian orang mencari sang petapa, hanya untuk mendapatkan nasihat dari dirinya. Sebagian lagi ingin menjadi muridnya. Tetapi petapa tetaplah petapa, ia hanya ingin menyendiri tanpa siapapun di sekitarnya.

Seorang warga desa, bernama Kirana, menjadi penghubung antara Sang Petapa dengan dunia. Jika ada yang ingin bertemu Sang Petapa, harus terlebih dahulu menemukan Kirana. Setelahnya, mereka akan bercerita kepada Kirana, tentang pertemuan dengan Sang Petapa.

Kisah-kisah yang nantinya kita baca,  merupakan penuturan langsung dari Kirana. Ada cerita yang menyesakkan dada, ada juga kisah yang menghangatkan jiwa. Walaupun sebagian besar bercerita tentang duka dan lara. Bukankah hanya mereka yang sedang terluka, yang membutuhkan petuah dari Sang Petapa?

Teman Bermain

Standard

Saat aku kecil Ibuku pernah berkata, “jangan terlalu banyak bermain-main, nanti teman mainmu lelah.”

Beliau tahu aku berlimpah energi, untuk berlari, melompat, dan menari. Tidak dengan teman-temanku, saat langit tak menyisakan biru, mereka pulang ke pangkuan ibu.

Sekarang kamu sebaiknya tahu, aku sudah lelah bermain bersamamu. Carilah teman baru, yang bisa mengimbangimu. 🙂

Rumah

Standard

Dahulu kusebut dirimu rumah
Karena kemana pun jauh ku melangkah
Kamu tempat terakhirku bersinggah

Seiring waktu, terusir diriku
Terlantar di luar
Terlelap tanpa atap

Kini rumahku dihuni yang lain
Tetapi aku masih bisa bermain-main
Walau harus melewati pintu belakang
Agar tak bertemu pemilik sekarang

Bekas rumahku yang nyaman
Sambutlah aku dengan senyuman
Berikan yang kuinginkan
Setiap aku membutuhkan

Sepotong Malam di Bibir Pantai

Standard

Dalam kegelapan malam di pantai, aku bertemu dengannya. Dia sedang menatap ombak yang berlari-lari menyentuh pasir putih yang terhampar.

Aku tak pernah menyukai pantai dan laut, bagiku mereka menyeramkan dan penuh misteri. Kalau saja dia tak membuatku tertarik dengan analisa-analisanya terhadapku, aku malas bertemu dengannya.

“Hai,” sapanya saat melihatku. Walau dengan pencahayaan yang sangat terbatas, aku bisa melihat senyumnya yang menawan. “Sini, duduk,” aku agak enggan duduk di pasir, tapi dia meyakinkanku, “lepas sandalnya, jadikan alas duduk kayak aku gini.”

Akupun duduk di sampingnya, cukup dekat hingga aroma parfum yang menguar dari lehernya bisa dengan lembut menyentuh indera penciumanku. Pantai ini sangat sepi, hanya sekelompok bule-bule remaja yang sedang berkumpul dalam radius beberapa puluh meter.

Kami mengobrol seperti teman dekat yang sudah lama tak bertemu, dia bercerita tentang hidupnya, keluarganya, dan bagaimana dia bisa sampai di kota ini. Selama bercerita, tangannya tak bisa diam, ia membuat berbagai benda abstrak dengan media pasir pantai. “Ini caraku agar tak begitu grogi saat berhadapan dengan orang yang aku kagumi,” ujarnya beralasan. Ah, dia memang pandai membuat orang terbuai. Akupun bercerita tentang sebagian hidupku, film dan musik yang aku suka, pengalaman-pengalamanku, dan banyak lagi. Kami punya banyak kesamaan, itu membuatku kian nyaman berada di dekatnya.

Seharusnya, kami bertemu di malam sebelumnya, tetapi aku mendadak ada keperluan yang tak bisa aku tinggalkan. Tampaknya Tuhan memang sudah mengatur pertemuan kami di malam ini. Suasana malam itu memang sangat mendukung, bintang bertaburan di angkasa dan ombak tampak tenang, walaupun ada kekhawatiran tiba-tiba ombak pasang dan menerjang kami. Aku paranoid dengan ombak.

Dia membaca kegusaranku, “kamu takut ombak?” seperti biasa ia menganalisa tingkahku, “pernah hampir tenggelam di pantai?” Aku mengangguk. “Tenang saja, ada aku,” mendengarnya membuatku merasa sedikit aman, “aku bisa teriak minta tolong kalau kamu terseret ombak.” Aku spontan tertawa.

Sekelompok bule-bule remaja yang ada di pantai bersama kami berdiri dari duduknya. Terlihat percikan api, mereka membakar sesuatu! Oh Tuhan, mereka menerbangkan lampion! Kupikir malam ini tak mungkin bisa lebih romantis dari ini, duduk berdua di pantai yang sepi sambil memandangi lampion-lampion terbang. Sampai pada saat aku mendengar lagu I See The Light mengalun, dia memutar lagu itu dari iPod miliknya. Kemudian ia duduk lebih merapat dan menggenggam tanganku. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya. Kami berdua terhanyut dalam suasana magis malam itu.

“Aku takut,” tiba-tiba ia berbicara sambil menatap lampion-lampion yang kian membumbung tinggi dan menyisakan titik terang di antara bintang-bintang, “takut kalau nantinya kita berpisah dan tak bisa bertemu lagi.” Aku berusaha meyakinkannya kalau kami masih bisa bertemu lagi.

Dia tersenyum pahit, “selepas ini kita berpisah, kamu kembali ke kotamu, aku kembali ke kotaku,” ia menghela napas berat, lalu melanjutkan, “kamu akan sibuk dengan aktivitasmu, dan aku hanya bisa merindukanmu dari jauh.”

Aku memeluknya erat, ia meneruskan bicaranya “mungkin nanti, kamu tidak merindukan aku, tapi pasti kamu akan merindukan momen kita saat ini.”

Sasha, The Victim of Mediocrity

Standard

Sasha menghempaskan tubuhnya di kursi reyot yang berada di teras rumahnya. Hasil ladang kali ini tak begitu baik, kemarau yang lebih panjang dari biasanya mengakibatkan tanaman stroberi yang dibudidayakan olehnya enggan berbuah.
Sasha hanya tinggal berdua bersama sang Ibu. Ayah Sasha pergi melaut dan sudah bertahun-tahun tak pulang tanpa kabar berita. Ayahnya mungkin sekarang sudah kaya raya di negeri antah berantah sehingga malas pulang, atau mungkin Ayah sudah lama tenggelam di laut lepas bersama kapal dan nelayan lainnya. Ah, Sasha sudah bosan menerka-nerka nasib Ayahnya.

Di tengah lamunan, Sasha dikejutkan dengan kedatangan serdadu kerajaan. Tumben benar serdadu kerajaan menginjakkan kaki di desa Sasha, pasti ada sesuatu yang penting, gumamnya dalam hati. Serdadu kerajaan menuju alun-alun di pusat desa untuk memberikan pengumuman. Segera Sasha memanggil ibunya untuk ikut bersama mendengarkan pengumuman kerajaan.

Setiap rumah di desa Kemeroid wajib memelihara seekor hewan ternak dan seekor binatang peliharaan. Bibit ternak dan peliharaan akan dibagikan oleh serdadu kerajaan. Ternak dan peliharaan tersebut adalah milik kerajaan, penduduk hanya merawat dan memeliharanya dengan baik. Anak-anak dari setiap keluarga bertanggung jawab dalam mengurusi hewan-hewan tersebut.

Begitu isi pesan kerajaan yang ditempel di papan informasi desa Kemeroid.

Serdadu kerajaan kemudian membagi-bagikan bibit ternak dan peliharaan kepada tiap-tiap kepala keluarga dengan cara memanggil mereka satu persatu, untuk kemudian diundi jenis hewan yang akan mereka pelihara.
Ibunda Sasha, Madeline, maju ke depan untuk mengambil undian dengan cara mengambil bola bertuliskan nama hewan di dalam sebuah tabung berwarna keemasan untuk hewan ternak, dan periuk berwarna kelabu untuk hewan peliharaan.
Madeline meraih satu bola dari masing-masing tempat, kemudian membacakannya dengan lantang di hadapan serdadu kerajaan dan penduduk desa lainnya. Sepasang kambing perah dan sepasang hamster menjadi tanggung jawab Madeline dan Sasha untuk dipelihara. Serdadu kerajaan menyerahkan dua ekor bibit unggul kambing perah dengan rambut yang halus dan mengkilap kepada Madeline. Sasha menerima sepasang hamster gendut berwarna oranye keemasan yang tak henti-hentinya memakan biji bunga matahari di dalam kandang, hal itu membuat Sasha tak kuasa menahan tawa melihat kelakuan sepasang hamster yang kelak dirawatnya.
Simone, tetangga Sasha, mendapatkan ayam petelur dan kucing siam. Sementara Javinta, putri kepala desa, memelihara sapi brahman dan burung kakatua.

Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan berlalu. Sasha tidak lagi ke ladang stroberi. Madeline sendirian yang mengurusinya, dan Sasha lebih fokus dengan hewan-hewan peliharaannya. Pembagian pekerjaan ini berbuah sangat baik. Sepasang hamster peliharaan Shasa berkembang biak dengan baik karena Shasa merawatnya dengan penuh perhatian. Jumlahnya kini mencapai belasan ekor. Sementara kambing perah Sasha juga menghasilkan susu kambing dengan kualitas prima. Selain itu, Sasha juga memelihara sepasang kelinci hutan jinak yang ia temukan sedang bermain-main di halaman belakang rumahnya.
Lain halnya dengan hewan-hewan yang diurusi Javinta. Karena Javinta terlalu sibuk bermain dengan teman-temannya, sepasang sapi brahman yang menjadi tanggung jawabnya terabaikan. Tubuh mereka kurus sekali, hingga terlihat tulang-tulang iga, padahal sapi brahman merupakan jenis sapi potong terbaik untuk dibudidayakan. Burung kakatua Javinta sendiri sudah terbang entah ke mana, karena Javinta lupa menutup kandang burung kakatuanya sesaat setelah Javinta mengganti air minum bagi burungnya.
Lalu Simone, orangtuanya memaksa Simone untuk terus membantu mereka di ladang. Ayam petelurnya mati karena lalai diberi makan. Kucing milik Simone juga sudah dikenal warga kampung sebagai kucing yang kasar dan suka menggigit dan mencakar warga desa.

Sasha sebenarnya sedih melihat hal itu, tapi apa mau dikata, dia bukanlah siapa-siapa. Seharusnya, orang yang berhak menegur mereka adalah orangtua masing-masing, namun orangtua mereka seperti tak peduli dan lebih memilih untuk bekerja dan memikirkan hasil ladang. Sasha memilih diam, cara yang aman untuk menjaga keseimbangan status quo.

Kondisi seperti itu akhirnya diketahui juga oleh kerajaan, maka kerajaan mengirimkan serdadu-serdadunya ke desa Kemeroid untuk sebuah misi.

Desa Kemeroid telah gagal dalam mengurus ternak dan peliharaan. Oleh karena itu SEMUA hewan yang diternakkan maupun dipelihara, esok HARUS dimusnahkan tanpa terkecuali.

Sasha mengatupkan kedua telapak tangannya di mulut, matanya terbelalak saat membaca pengumuman yang ditempel di papan informasi desa. Ia segera berlari ke rumah dengan berlari sambil menahan airmata agar tidak tumpah. Madeline rupanya sudah tahu akan pengumuman itu, dirinya duduk menunggu Sasha di teras rumahnya.

“Ini tidak adil!” geram Sasha, “mengapa hanya karena Simone dan Javinta dan juga anak-anak lain lalai mengurusi hewan-hewan, maka hewan-hewanku juga terkena imbasnya?!”
“Itu sudah merupakan keputusan kerajaan, Sha,” ujar Madeline sambil mengusap pelan rambut Sasha yang kini sedang menangis tersedu di pangkuannya, “kita ini hanya rakyat jelata, tak mampu melawan kehendak kerajaan.”
“Tapi, Bu, Sasha membesarkan, merawat, memelihara, memberi makan, mengajak mereka bermain, hingga mereka sekarang tumbuh sehat dan beranak pinak, Bu.”
“Ibu tahu kamu kecewa. Ibu tahu pengumuman ini akan datang, sudah pernah dibahas pada rapat desa bulan lalu.”
“Jadi, Sasha harus tetap menyerahkan hewan-hewan lucu itu untuk dibantai para serdadu kerajaan, Bu?”
Madeline tidak menjawab, ia memeluk Sasha erat.

Esoknya, pembantaian dilakukan. Semua ternak dan peliharaan warga desa Kemeroid, termasuk sepasang kelinci hutan milik Sasha, dimasukkan ke dalam sebuah kamar gas, untuk kemudian dibunuh dengan gas beracun.
Ringkikan, lolongan, lenguhan, rintihan, segala suara-suara yang ditimbulkan oleh hewan-hewan sekarat itu membuat suasana desa mencekam.

Simone dan Javinta terlihat tak peduli saat ternak dan peliharaan mereka dimasukkan ke kamar gas. Sementara Sasha berulang kali menyeka airmatanya yang meleleh tanpa henti. Sasha menangis dalam diam. Pikirannya penuh tanya, mengapa semua hewan itu harus dimusnahkan? Mengapa kerajaan tidak mengedukasi warganya agar bisa mengurusi hewan dengan baik? Mengapa hewan-hewan miliknya yang sehat dan prima tidak dikecualikan? Dan banyak ribuan “mengapa” di kepala Sasha.

Sasha, korban dari sebuah sistem di desa Kermedio.

 

An Unsent Letter

Standard

I never feel like this before, crying for hours on my way back home. It’s because of you, the person I’ve met. You should know that I put my interest in you since a long time ago, and finally I meet you in person!

Since the first time your eyes look at my eyes, I like you. I try to control myself, not to let this ‘like’ feeling become bigger and bigger.

But then I failed.

You are the whole package that I need. You’re cute, caring, funny, lovely, you’re just perfect in my eyes.

I’ve tried to convince myself that even you are perfect, you didn’t meet two essential things.
First, we are on the same star sign. I know the kind of people on this star sign, I know it so much. And I always avoid them.
Second, we’re separated hundreds kilometers away! And I don’t really like traveling.

But then I failed.

You are so charming, nice, make me feel so special, I feel comfort. The kind of feeling that I almost forgot.

Thank you for being the person that makes me move-on from my previous crush. You are much better than them.

Before I met you, I knew I will get this very sad moments. But I want to give it a try and take any consequences. The result is, you worth the pain.

Whenever you’re feeling down, just remember there’s someone who likes you so much 🙂

Sekarang Saatnya!

Standard

Sekarang saatnya!
Tapi tunggu, aku masih bisa menahannya.
Walaupun ada rasa gelisah dan tak enak mengganjal di dalam diriku.
Tapi tak mungkin sekarang, sebaiknya tidak sekarang.
Masih banyak orang yang kita kenal.
Aku malu..

Tunggulah dulu ketika kita sudah berdua.
Mungkin aku akan sedikit berani dan menahan malu.
Agar rasa yang mengganjal ini tak lagi menghantuiku.
Sungguh tak enak rasanya menahan hasrat yang ada.

Oh, sekarang saatnya!
Tinggal kita berdua.
Dan orang2 asing itu.
Tak apalah, toh kita tak kan bertemu mereka lagi.
Tapi aku masih tetap takut, tetap malu.
Entah mengapa..

Ayo, sekarang saatnya!
Aku tak mau sakit lagi menahannya.
Tapi tubuhku seolah enggan berkompromi denganku.
Kembali terpendamlah rasa itu.

Akhirnya kita berpisah.
Tubuhku mulai bergejolak.
Aku tak malu lagi, toh sekarang aku sudah seorang diri.
Sungguh pengecut diriku, membiarkan sakit menjalari tubuhku.
Hanya karena rasa malu.

duuuutt……..

aaaah, lega rasanya mengeluarkan yang dari tadi kutahan-tahan………

Aku Adalah Debu

Standard

Aku adalah debu, ada di sekitarmu, memperhatikan gerak gerikmu, tapi ah, apa kamu pernah melihatku?

Aku mengomentari tulisan-tulisanmu, update statusmu, sama seperti teman-temanmu yang lain. Tapi, ah, komentar balasanmu tak pernah ditujukan kepadaku.

Ya, kita pernah bertemu, dan setelah pertemuan itu, kamu tak pernah membalas pesanku, aku tak pernah tau apa salahku.

Aku pernah membantu mewujudkan mimpimu, tapi di depan teman-temanmu, kamu tak pernah mengakui bahwa aku yang telah membantumu.

Memang, siapalah aku, bagian tak penting dari hidupmu, tak pernah dirindukan olehmu, walau aku selalu memikirkanmu.

Bagimu, aku adalah debu, kamu tak pernah mengakuiku.